βœ” Pengenalan Dan Sejarah Indonesia - Bab 2

SEJARAH

 memperlihatkan bahwa nenek moyang insan sudah menghuni pulau Jawa sekitar  βœ” Pengenalan dan Sejarah Indonesia - Bagian 2

Catatan sejarah prasejarah dan awal

Sisa-sisa Homo erectus (awalnya disebut Pithecanthropus, atau insan Jawa) memperlihatkan bahwa nenek moyang insan sudah menghuni pulau Jawa sekitar 1,7 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar kepulauan barat masih dihubungkan oleh jembatan darat. Sekitar 6.000 tahun yang kemudian kenaikan permukaan maritim pasca-glasial cepat merendam jembatan-jembatan ini. Yang tersisa yakni kompleks pulau terbesar di dunia: kepulauan Indonesia.
sebelumnya: bagian 1 ; bersambung ke: bagian 3
Tidak mengherankan, lautan telah sangat memengaruhi sejarah Indonesia, dan kapal itu telah usang menjadi perumpamaan dalam seni dan tradisi sastra dan mulut di pulau-pulau itu. Angin muson, bertiup di utara dan selatan Khatulistiwa, telah memfasilitasi komunikasi di dalam kepulauan dan dengan negara-negara Asia maritim lainnya. Pada masa-masa awal, kayu dan rempah-rempah di Jawa dan pulau-pulau timur dikenal jauh, demikian pula resin-resin dari hutan ekuatorial yang sangat lembap di pulau-pulau barat Sumatera dan Kalimantan. Pada periode pertama M, barang-barang sudah dikirim ke luar negeri, dan sungai-sungai yang bisa dilayari telah membawa pedalaman Indonesia ke pasar-pasar yang jauh.
Meskipun catatan perdagangan luar negeri gres dimulai pada abad-abad awal Masehi, ada kemungkinan bahwa orang-orang dari kepulauan Indonesia berlayar ke pecahan lain Asia lebih awal. Sejarawan Romawi, Sejarah Alam Pliny the Elder, mengemukakan bahwa, pada periode ke-1 M, Indonesia terlibat dalam perdagangan dengan pantai timur Afrika. Permukiman Indonesia mungkin ada pada waktu itu di Madagaskar, sebuah pulau dengan ciri budaya Indonesia yang berbeda. Ahli geografi Ptolemy, pada periode berikutnya, memasukkan informasi dari pedagang India dalam Panduannya untuk Geografi ihwal β€œIabadiou,” yang mungkin merujuk pada Jawa, dan β€œMalaiou,” yang, dengan variannya, mungkin merupakan terjemahan dari β€œMalayu,” sebuah Istilah sekali luas diterapkan ke banyak sekali daerah pedalaman dan kerajaan sumatera. (Dalam penggunaan dan ejaan kontemporer, istilah Melayu merujuk pada orang Melayu.)
Pelayaran reguler antara Indonesia dan Cina tidak dimulai sebelum periode ke-5 Masehi. Sastra Tionghoa pada periode ke-5 dan ke-6 menyebutkan produk pohon Indonesia barat, termasuk kapur barus dari sumatera utara. Ini juga merujuk pada dua resin Indonesia sebagai β€œresin Persia dari maritim selatan,” yang memperlihatkan bahwa produk-produk Indonesia telah ditambahkan ke perdagangan resin lintas maritim yang ada dari Asia barat. Sangat mungkin bahwa pengirim Indonesia pada waktu itu mengeksploitasi kesulitan ekonomi China selatan, yang timbul sebagai akhir dari terputusnya tempat tersebut dari rute perdagangan kuno Asia Tengah. Kerajaan muara kecil mulai makmur sebagai pengusaha internasional. Meskipun lokasi kerajaan-kerajaan ini tidak diketahui, keunggulan komersial Palembang pada periode ke-7 memperlihatkan bahwa orang-orang Melayu di sumatera tenggara telah aktif dalam perdagangan "Persia" dengan Cina selatan.
Namun, komunikasi luar negeri yang gampang tidak menghasilkan pembentukan kerajaan-kerajaan besar teritorial. Banyak muara Sumatera dan Kalimantan, yang berhadapan dengan maritim pedalaman, mempunyai banyak makanan maritim bergizi yang memungkinkan gaya hidup yang menetap, dan bagi orang-orang di muara ini, kontak dengan tetangga mereka lebih penting daripada koneksi yang sanggup mereka lakukan dengan tanah di luar negeri. Kelompok-kelompok lokal, diberkahi dengan sumber daya yang kurang lebih sebanding, paling peduli untuk melindungi identitas mereka yang terpisah. Kepentingan provinsi mirip itu juga berlaku di pulau Jawa, di mana tanah yang diperkaya lava, disiram oleh sungai yang mengalir dengan lembut, mendorong produksi beras lembap dan pola tambal sulam dari daerah pemukiman di lembah sungai yang dipisahkan oleh gunung dan hutan.
Jauh sebelum catatan dimulai, banyak kelompok pesisir dan sungai di kepulauan Indonesia sedang mengembangkan bentuk hierarki dasar , disertai dengan simbol artistik peringkat. Namun, tidak ada satu kelompok pun yang cukup besar atau cukup kuat untuk menyerbu dan menduduki wilayah tetangga; melainkan, banyak sekali energi masyarakat diserap oleh eksploitasi sumber daya alam mereka sendiri yang semakin intensif. Sementara mereka yang tinggal di atau bersahabat dengan maritim tahu bahwa isolasi geografis mustahil dilakukan, mereka menganggap lingkungan maritim mereka sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan mereka melalui impor atau keterampilan baru. Orientasi lahiriah mereka, kemudian, pada akhirnya mendorong pengejaran kepentingan lokal daripada menanamkan rasa mempunyai yang lebih besar. Memang, struktur sumber tertulis dan mulut Indonesia memperlihatkan bahwa asal-usul kerajaan di pesisir Laut Jawa dikaitkan dengan keberhasilan para satria lokal dalam mengubah kedatangan harta perdagangan asing menjadi laba mereka.
Banyak nama tempat Indonesia tetap tidak berubah semenjak awal sejarah yang terdokumentasi. Di tempat-tempat mirip itu, yang sering berdekatan satu sama lain, masing-masing pemimpin melihat dirinya di sentra dunia yang penting baginya, yang tidak, hingga kemudian, menjadi kepulauan atau bahkan satu pulau melainkan kepingan pantai atau lembah sungai. Beberapa sentra mencapai hegemoni lokal , tetapi tidak pernah memadamkan pretensi sentra tentangan secara permanen. Dengan demikian, sejarah awal Indonesia terdiri dari banyak sejarah daerah yang hanya secara sedikit demi sedikit bersinggungan satu sama lain.
Fragmentasi historis kepulauan ini, yang ditopang oleh iklimnya yang kaya dan ditekankan (alih-alih berkurang) oleh susukan yang gampang ke dunia luar, terbukti dalam keanekaragaman bahasa Indonesia . Para pembicara dariBahasa Austronesia hampir niscaya mengalir ke wilayah ini dalam kelompok-kelompok kecil dari daratan Asia atau Kepulauan Pasifik dalam jangka waktu yang lama. Ketika mereka mencapai pantai dan sungai di kepulauan itu, mereka tiba-tiba tidak mempunyai identitas yang sama. Sebaliknya, mereka tetap kelompok yang tersebar, kadang kala hidup berdampingan dengan keturunan populasi zaman Pleistocene sebelumnya (kira-kira 1.800.000 hingga 10.000 tahun yang lalu), yang pada gilirannya juga telah mencar ilmu memanfaatkan ekonomi lingkungan mereka dalam rentang waktu budaya yang luas. Ratusan bahasa dalam cabang barat keluarga Austronesia (yang meliputi sebagian besar bahasa Indonesia) yakni indeks cara orang-orang di kepulauan Indonesia tunduk pada realitas sosial, ekonomi, dan alami dari lingkungan mereka.
Prasasti kerikil atau logam, bersama dengan salinan teks-teks keagamaan awal, yakni sumber informasi dokumenter yang paling penting. Namun, lantaran dokumen-dokumen ini selalu berkaitan dengan tempat-tempat tertentu, pembangunan sejarah narasi yang komprehensif dari area yang luas hampir tidak mungkin. Kenyataan di balik banyak hubungan antardaerah, dengan demikian, tetap merupakan teka-teki. Namun demikian, ide-ide bangsawan, sebagaimana diartikulasikan dalam arsitektur dan sastra, mencerminkan banyak sekali tingkat paparan efek dari luar nusantara. Selain itu, mereka mengungkapkan titik persimpangan dalam kepercayaan dan praktik masyarakat di seluruh wilayah; semua kelompok mempertahankan perkiraan dasar ihwal ketergantungan insan pada niat baik entitas supernatural.

"Hinduisme" Indonesia

Kedatangan konsepsi agama Hindu Efek dahsyat dari pertukaran lintas budaya (dan komersial) dengan Asia barat dan terutama selatan biasanya digambarkan secara kolektif sebagai β€œHinduisasi.” Sekarang diyakini bahwa Hinduisme dibawa ke Indonesia bukan oleh para pedagang, mirip yang diperkirakan sebelumnya, tetapi oleh para Brahmana dari India yang mengajar Shivaisme dan pesan keabadian. Prasasti Sanskerta, dikaitkan dengan periode ke-5 dan ke-6, telah ditemukan di Kalimantan timur , jarak yang cukup jauh dari rute perdagangan internasional, dan juga di Jawa Barat. Mereka mengungkapkan bahwa sastrawan India, atau murid-murid Indonesia mereka, dihormati di beberapa kerajaan. Para penguasa, yang disebut raka, yakni kepala-kepala kelompok desa yang menonjol di daerah-daerah di mana irigasi dan kebutuhan-kebutuhan lain telah merangsang hubungan antar desa dan pengembangan otoritas supravillage; prasasti, dan juga sumber-sumber Cina, memperlihatkan bahwa beberapa penguasa ini terlibat dalam peperangan, mungkin dalam upaya untuk memperluas efek mereka. Para Brahmana Shaivite mengawasi pemujaan simbol falus Siwa, lingga (lingam), untuk memanfaatkan pemberian yang kuasa atas nama para pelindung kerajaan mereka. Para Brahmana ini yakni wakil dari gerakan bhakti yang semakin besar lengan berkuasa dalam Hinduisme India pada masa itu, dan mereka mungkin mengajar para pelindung mereka bagaimana mencapai hubungan pribadi dengan yang kuasa melalui β€œpenghematan, kekuatan, dan pengendalian diri,” dalam kata-kata satu prasasti dari Kalimantan. Para penguasa, oleh lantaran itu, didorong untuk mengaitkan keberhasilan duniawi mereka dengan rahmat Siwa; rahmat diperoleh melalui latihan bakti yang ditawarkan kepada Siwa dan kemungkinan dianggap sebagai jaminan status superior dalam kehidupan sehabis kematian. Sekte-sekte Shaivite ini yakni tanda kehidupan spiritual yang istimewa dan sumber prestise dan otoritas kerajaan.

Konsepsi keagamaan Indonesia

Orang Indonesia, yang telah terbiasa membangun kuil bertingkat β€” melambangkan gunung suci β€” untuk menghormati dan menguburkan orang mati, tidak akan dibentuk resah oleh iman Brahman bahwa Shiva juga berdiam di gunung suci. Megalit yang telah ditempatkan di teras gunung untuk tujuan ritual akan dengan gampang diidentifikasi dengan lingga kerikil alam Siwa, yang paling bergengsi dari semua lingga. Orang Indonesia, yang sudah peduli dengan upacara penguburan dan kesejahteraan orang mati dan yang menganggap ritual rumit pengerjaan logam sebagai metafora untuk transmutasi spiritual dan pembebasan jiwa, akan menaruh perhatian khusus pada teknik perenungan Hindu untuk mencapai keabadian di kediaman Shiva. Pertapa meditasi Hindu mungkin telah didahului di Indonesia oleh dukun terpesona (pendeta-penyembuh). Selain itu, anggapan bahwa air yakni biro pemurni dikarenakan telah dibersihkan oleh energi kreatif Siwa di puncak gunungnya akan sanggup dipahami oleh orang Indonesia yang menghormati gunung, terutama kalau mereka telah memberkahi air yang mengalir dari puncak gunung yang kuasa mereka sendiri dengan ilahi. kualitas pemupukan.
Masuknya para Brahmana ke dalam kerangka keagamaan Indonesia kemungkinan besar diaspal oleh para misionaris Buddha sebelumnya ke kepulauan itu, yang menyebarkan kepedulian Hindu terhadap keselamatan agama. Namun, perspektif mereka yang pertama kali mendengarkan para Brahmana tentu saja diberi informasi oleh konsep-konsep keagamaan pribumi . Dihormati terutama sebagai guru, para Brahmana memperoleh kepercayaan orang Indonesia dengan memperlihatkan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan yang sudah penting dalam sistem kepercayaan asli.
Namun demikian, keadaan dan motivasi Indonesia mendasari adopsi bentuk-bentuk India. Penggunaan terminologi Hindu dalam prasasti mewakili tidak lebih dari upaya Indonesia untuk menemukan ekspresi metaforis yang cocok dari yang suci. Literatur Sanskerta untuk menggambarkan realitas mereka sendiri. Sastra Sanskerta, yang diimpor dari India pada manuskrip atau sebagai tradisi mulut , akan diambil terutama ketika para sastrawan dengan sopan berusaha menggambarkan para penguasa yang telah mencapai hubungan pribadi yang intens dengan Shiva. Orang Indonesia, mirip masyarakat Asia Tenggara awal lainnya, tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi diri mereka dengan nilai-nilai universal peradaban Hindu sebagaimana diwakili oleh literatur suci. Sementara karya-karya sastra dan aturan India memberikan pedoman yang mempunyai kegunaan untuk penulisan kreatif Indonesia, mereka tidak menghasilkan Hinduisasi menyeluruh ihwal kepulauan, sama mirip para Brahmana India yang bertanggung jawab atas pembentukan kerajaan-kerajaan awal kepulauan itu.
India, karenanya, harus dianggap sebagai gudang keterampilan agama, yang penggunaannya disubordinasikan hingga ke ujung Indonesia. Berkembangnya komunikasi berarti semakin banyak orang Indonesia yang tertarik pada pemikiran India. Periode pertama sejarah Melayu maritim yang didokumentasikan dengan baik memberikan bukti lebih lanjut ihwal penyesuaian Indonesia terhadap konsepsi keagamaan India .

Kerajaan Melayu Sriwijaya -Palembang

Kerajaan Sriwijaya pertama kali disebutkan dalam tulisan-tulisan peziarah Buddhis Cina, I-ching, yang tiba pada tahun 671 sehabis perjalanan kurang dari 20 hari dari Canton . Dia berada pada tahap pertama perjalanannya ke sentra pengajaran besar Nalanda di timur maritim India . Penguasa Sriwijaya membantu I-ching dalam perjalanannya.
Survei arkeologis yang dilakukan semenjak selesai periode ke-20 sempurna di sebelah barat kota Palembang telah mengungkapkan jumlah materi sedemikian rupa sehingga secara mudah memastikan bahwa ini yakni jantung Sriwijaya pada periode ke-7 dan tiga berikutnya. Sisa-sisa permukaan lebih dari seribu pecahan keramik Tiongkok , banyak di antaranya merupakan data dari periode ke-8 hingga periode ke-10, telah ditemukan dari beberapa situs. Pecahan-pecahan dari periode ke-11 ke ke-14 yang ditemukan di tempat lain di tempat ini mungkin mewakili pergeseran acara politik dan komersial di wilayah Palembang. Pecahan ditemukan di dekatnya Bukit Seguntang , di sisi lain, membentang selama berabad-abad. Sepotong Romano-India rolet ware, disebabkan abad-abad awal Masehi , telah ditemukan di Palembang bersahabat sungai; barang yang sama telah ditemukan di Jawa bersahabat Jakarta . Selain itu, sebagian besar patung Buddha, Hindu, dan patung-patung lain yang telah ditemukan dari wilayah Sungai Musi telah menyarankan bahwa cekungan berisi situs pemerintahan di bersahabat maritim yang menikmati banyak kontak internasional. Akhirnya, sisa-sisa stupa telah digali di kaki Bukit Seguntang. Penemuan ini memperkuat bukti tekstual bahwa Palembang memang merupakan sentra kerajaan Sriwijaya .

Agama Buddha di Palembang

Pentingnya Srivijaya-Palembang baik sebagai sentra perdagangan dan sebagai sentra Asia Tenggara untuk praktik agama Buddha telah didirikan oleh sumber-sumber sejarah Arab dan Cina yang meliputi periode waktu yang lama. Catatannya sendiri, dalam bentuk prasasti dalam Bahasa Melayu Kuno ( bahasa Melayu yang ditulis dalam karakter berbasis India), hampir seluruhnya terbatas pada paruh kedua periode ke-7. Prasasti mengungkapkan bahwa penguasa dilayani oleh hierarkipejabat dan bahwa ia mempunyai kekayaan. Periode ketika prasasti itu ditulis yakni yang gelisah. Pertempuran disebutkan, dan penguasa harus memperhitungkan ketidakpuasan dan intrik di ibukotanya. Memang, tema utama dari prasasti yakni kutukan pada mereka yang melanggar sumpah kesetiaan yang diberikan dengan minum air suci. Hukuman untuk ketidaksetiaan yakni kematian, tetapi mereka yang mematuhi penguasa dijanjikan kebahagiaan abadi.
I-ching merekomendasikan Palembang, dengan lebih dari seribu biksu, sebagai sentra yang sangat baik untuk mulai mempelajari teks-teks Buddhis. Akan tetapi, prasasti periode ke-7 berkaitan dengan ciri-ciri Buddhisme yang kurang ilmiah. Menampilkan efek Vajrayana , atau Buddhisme Tantra, mereka sebagian besar berurusan dengan yantra , simbol untuk membantu kekuatan magis yang didistribusikan oleh penguasa sebagai pemberian kepada para pelayan yang setia. (Namun, beberapa musuh penguasa juga mengeluarkan yantras.) Prasasti Talang Tuwo ihwal 684, yang mencatat doa raja bahwa sebuah taman yang telah dianugerahkannya sanggup memberikan manfaat bagi semua makhluk hidup, terutama memperlihatkan kehadiran agama Buddha dalam konteks tersebut. kekuatan kerajaan. Bahasa dan gaya prasasti ini, yang menggabungkan konsepsi Tantra India , memperjelas bahwa penguasa itu menampilkan dirinya sebagai seorang bodhisattva.β€”Salah yang akan menjadi seorang buddha sendiri β€” mengajarkan beberapa tahap menuju pencerahan tertinggi. Ini yakni referensi pertama dalam sejarah kepulauan ihwal perkiraan penguasa ihwal kiprah pemimpin agama.
Prasasti memperlihatkan bahwa pemikiran sekolah Tantra Buddha Mahayana , dengan mekanisme magisnya untuk mencapai tujuan supernatural, telah mencapai Palembang sebelum selesai periode ke-7. Buddhisme Tantra menjadi populer di India hanya pada periode ke-7, dan sinkronisme kemunculannya di Palembang tidak hanya mencerminkan keteraturan kontak pengiriman antara sumatera dan India, tetapi, yang lebih penting,Persepsi cepat orang Melayu ihwal Tantrisme sebagai sumber kekuatan spiritual pribadi. Kata untuk "kutukan" dalam prasasti yakni bahasa Melayu, dan masuk nalar untuk menganggap bahwa orang Melayu mencangkokkan teknik Tantra ke dalam mekanisme magis pribumi . The prestise yang diberikan suci Seguntang Hill, sebuah situs yang dikunjungi oleh mereka yang mencari kekuatan spiritual, mungkin juga mencerminkan vitalitas agama Melayu; mustahil bahwa situs tersebut akan menjadi sentra spiritual hanya sebagai hasil dari kemudian lintas dalam konsepsi Tantra selama periode ke-7. Agitasi dan kemalangan yang terungkap dalam prasasti-prasasti itu, tampaknya, lebih kecil kemungkinannya yakni meningkatnya penderitaan kerajaan yang sedang bangun daripada upaya-upaya kerajaan yang sudah penting untuk dicapai, atau mungkin pulih,hegemoni di sumatera selatan.

Pengaruh Maritim

Pada periode sebelum mereka melaksanakan perjalanan panjang ke luar negeri, Cina mengandalkan pengiriman asing untuk impor mereka, dan pedagang asing dari jauh memerlukan basis yang kondusif di Indonesia sebelum berlayar ke Cina . Perdagangan maritim ini, yang dianggap di Cina sebagai perdagangan "anak sungai" dengan "pengikut kaisar yang biadab," telah berkembang selama periode ke-5 dan ke-6 tetapi merana di paruh kedua periode ke-6 sebagai akhir dari perang saudara di Tiongkok yang mendahului bangkitnya dinasti Sui dan T'ang . Catatan Cina untuk paruh pertama periode ke-7 menyebutkan beberapa kerajaan pelabuhan kecil di wilayah itu, terutama di sumatera timur laut, yang berpura-pura menjadi pengikut Cina. Akan tetapi, sebagaimana diilustrasikan oleh militansi penguasa dalam prasasti Melayu Kuno, para penguasa Palembang, yang mengharapkan kebangkitan kembali perdagangan di bawah dinasti T'ang yang gres , sangat ingin memonopoli perdagangan Cina dan menyingkirkan tentangan mereka. Mereka memang berhasil dalam tujuan mereka; sebelum I-ching meninggalkan Asia Tenggara pada tahun 695, Sriwijaya telah mendapatkan kendali atasSelat Malaka.
Kekuatan selanjutnya dari para penguasa tingkat tinggi β€” para maharaja β€” dari Sriwijaya bergantung pada aliansi mereka dengan mereka yang mempunyai kapal perang. Fakta bahwa akun-akun Arab tidak menyebutkan pembajakan di pulau-pulau di ujung selatan Selat Malaka memperlihatkan bahwa penghuni maritim di pulau-pulau ini diidentifikasi dengan kepentingan para maharaja; lantaran itu penduduk pulau menahan diri dari menganiaya kapal dagang, dan mereka bekerja sama dalam mengendalikan pesaing potensial Sriwijaya di Sumatera utara. Para maharaja memperlihatkan kekayaan kepada rakyatnya, jabatan kehormatan, dan β€” berdasarkan prasasti itu β€” imbalan gaib. Tetapi pengelompokan orang-orang Melayu maritim di wilayah yang secara geografis terfragmentasi ini bertahan hanya selama pengusaha Palembang makmur dan penguasanya memperlihatkan cukup banyak sumbangan untuk menyatukan unsur-unsur tersebut. Karunia-Nya, Namun, tergantung pada kelangsungan hidup sistem perdagangan anak sungai Cina, yang membutuhkan banyak usaha di Indonesia barat. Sejarah Melayu awal adalah, hingga batas tertentu, sejarah aliansi Melayu-Melayu. Para maharaja menerima manfaat dari perdagangan Cina, sementara para kaisar sanggup membiarkan diri mereka sendiri kesombongan bahwa maharaja yakni biro kekaisaran yang sanggup diandalkan.
Rentang efek teritorial penguasa Palembang yang niscaya tidak diketahui. Sekat Bangka dan pulau-pulau lepas pantai di pintu masuk selatan Selat Malaka akan penting untuk kekuatan maritim di Indonesia. Menurut prasasti periode ke-7, para penguasa juga mempunyai efek di Sumatera Selatan di Selat Sunda . Di tempat lain di pedalaman, termasuk DAS Batanghari, yang kemudian dikenal sebagai Malayu (bersama dengan daerah lain di pedalaman Sumatera), wewenang mereka akan dilaksanakan oleh aliansi dengan kepala daerah atau dengan kekuatan, dengan imbas menurun semakin jauh daerah-daerah ini berasal dari Palembang.
Persatuan Melayu di bawah kepemimpinan maharaja tak terhindarkan hancur ketika, pada awal periode ke-10, kapal-kapal swasta Cina mulai berlayar ke pusat-pusat produksi di kepulauan itu, dengan kesudahannya pasar Cina tidak lagi bergantung pada satu pengusaha Indonesia. Menjelang selesai periode ke-11, Sriwijaya-Palembang tidak lagi menjadi kerajaan estuari utama di sumatera. Hegemoni telah berlalu, untuk alasan yang tidak diketahui, ke kota estuari tetangga Jambi , di Sungai Batanghari, yang mungkin dikendalikan oleh orang-orang Minangkabau di pedalaman tengah-barat pulau itu. Dengan menurunnya perdagangan anak sungai dengan Cina, sejumlah pelabuhan di tempat itu menjadi sentra perdagangan internasional . Malayu-Jambi tidak pernah mempunyai kesempatan untuk membangun sumber daya maritim mirip yang dilakukan Sriwijaya-Palembang, dan pada periode ke-13 seorang pangeran Jawa mengambil laba dari kekosongan kekuasaan.
Prasasti - prasasti Jawa Timur sedikit menyoroti insiden sebelum periode ke-10, tetapi bukti dari Jawa tengah-selatan, terutama dari Dataran Kedu pada periode ke-8 dan ke-9, lebih berlimpah. Periode ini di Jawa Tengah dikaitkan dengan Dinasti Shailendra dan para pesaingnya. Sebuah prasasti Melayu Kuno dari Jawa tengah-utara, dikaitkan dengan periode ke-7, memutuskan bahwa Shailendra berasal dari Indonesia dan bukan mirip yang pernah diduga, dari daratan Asia Tenggara . Pada pertengahan periode ke-9, penguasa Sriwijaya-Palembang yakni seorang Shailendra yang membual ihwal leluhur Jawa-nya; nama Shailendra juga muncul di wajah tak bertanggal dari sebuah prasasti di tanah genting Semenanjung Melayu ; wajah lain dari prasasti itu β€” tertanggal 775 β€” yakni untuk menghormati penguasa Sriwijaya.
Terlepas dari rujukan yang tidak terang ihwal hubungan Shailendra di luar negeri, tidak ada bukti kuat bahwa wilayah penguasa Jawa tengah dikala ini meluas jauh melampaui Jawa Tengah, termasuk pantai utara. Namun kekayaan pertanian kerajaan kecil ini menopang usaha keagamaan yang luas; monumen dataran Kedu yakni yang paling populer di Indonesia, yaitu kompleks candi Borobudur. Untuk menghormati Buddhisme Mahayana , berisi 2.000.000 kaki kubik (56.600 meter kubik) kerikil dan termasuk 27.000 kaki persegi (2.500 meter persegi) relief batu. Pembangunannya diperpanjang dari selesai periode ke-8 hingga dekade keempat atau kelima dari periode ke-9. Kuil besar Siwa di Prambanan , meskipun tidak terkait dengan keluarga Shailendra, berjarak kurang dari 50 mil (80 km) jauhnya, dan sebuah prasasti yang bertuliskan 856 menandai apa yang mungkin merupakan kerikil fondasinya. Dua monumen, yang mempunyai banyak kesamaan, membantu menjelaskan impuls keagamaan dalam sejarah Jawa sebelumnya.
Borobudur yakni candi bertingkat yang dikelilingi oleh stupa, atau menara batu; teras ibarat fondasi penguburan Indonesia, memperlihatkan bahwa Borobudur dianggap sebagai simbol tempat peristirahatan terakhir pendirinya, seorang Shailendra, yang dipersatukan sehabis kematiannya dengan Buddha. Kompleks candi Prambanan juga dikaitkan dengan raja yang sudah mati. Prasasti 856 menyebutkan upacara pemakaman kerajaan dan memperlihatkan bahwa raja yang mati telah bergabung dengan Siwa, sama mirip pendiri monumen Borobudur telah bergabung dengan Buddha. Atribut ilahi, bagaimanapun, telah dianggap berasal dari raja selama hidup mereka. Sebuah prasasti Mahayana pada periode ini memperlihatkan bahwa seorang penguasa dikatakan mempunyai kekuatan pemurnian seorang bodhisattva, status yang diambil oleh penguasa Sriwijaya pada periode ke-7.
Sifat-sifat ilahi dari raja-raja ini, baik dari persuasi Mahayana atau Shaivite, mempunyai implikasi penting dalam sejarah Jawa dan mungkin dalam sejarah semua pecahan kepulauan yang menganut bentuk-bentuk agama India. Penguasa kini dan selanjutnya dipandang sebagai orang yang telah mencapai persatuan dengan yang kuasa tertinggi di masa hidupnya. Kedudukan raja yakni ilahi hanya lantaran jiwa raja yakni tuan rumah yang kuasa tertinggi dan lantaran semua tindakan raja niscaya merupakan tindakan para dewa. Dia bukan raja dewa; ia yakni dewa. Tidak ada tindakan mirip yang kuasa yang lebih penting daripada memperluas sarana keselamatan pribadi kepada orang lain, selalu dalam bentuk penyatuan dengan dewa.
Relief monumen Borobudur, yang menggambarkan teks Mahayana dan khususnya Gandavyuha β€” cerita peziarah yang tak kenal lelah dalam mencari pencerahan β€” yakni sebuah eksposisi besar-besaran dari jalan Mahayana menuju keselamatan yang diambil oleh raja; mungkin dianggap sebagai tipeYantra untuk mempromosikan meditasi dan penyatuan tertinggi dengan Buddha. Tetapi Borobudur juga sanggup diidentifikasi sebagai lingkaran, ataumandala , dari kekuatan gaib tertinggi yang terkait dengan Buddha Vairocana (salah satu Buddha Dhyani yang lahir sendiri ), berdasarkan ajaranBuddhisme Vajrayana . Mandala itu dimaksudkan untuk melindungi wilayah Shailendra sepanjang masa. The pedagogis simbolisme kompleks candi Prambanan terungkap dalam ikonografi nya, didominasi oleh gambar dari Siwa empat bersenjata, Guru-Besar representasi Indonesia adat dari yang kuasa tertinggi. Prambanan menegaskan jalan Shaivite menuju keselamatan; jalan ditunjukkan dalam prasasti 856, yang menyiratkan bahwa raja telah berlatihasketisme , bentuk ibadah yang paling sanggup diterima oleh Siwa. Jadi, di Jawa,Shaivisme serta Buddhisme Mahayana menjadi ramah terhadap efek Tantra. Sebuah prasasti yang hampir kontemporer dari dataran tinggi Ratu Baka, yang tidak jauh dari kompleks Prambanan, memberikan bukti lebih lanjut ihwal Tantrisme; itu menyinggung ritus-ritus khusus untuk membangkitkan energi ilahi Siwa melalui medium permaisuri ritual.
Makam kerajaan ini mengajarkan cara keselamatan. Peran kerajaan di bumi serupa. Para raja, bukan elit agama, memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua sanggup menyembah dewa-dewa, baik dengan nama India atau Indonesia. Setiap yang kuasa di negeri itu yakni manifestasiSiwa atau anggota bawahan yang kuasa Siwa, dan lantaran itu penyembahan menyiratkan penghormatan kepada raja, yang merupakan pecahan dari dewa. Tumbuhnya bersama, sebagai hasil dari efek Tantra, dari Shaivism dan Buddhisme Mahayana berarti bahwa selama berabad-abad karakter ilahi raja terus dielaborasi. Tanggung jawabnya yakni tanggung jawab untuk mempertahankan kerajaannya sebagai tanah suci. Raja bodhisattva digerakkan oleh belas kasihan, mirip halnya semua bodhisattva, sementara raja yang mirip Siwa, mirip yang tertulis pada periode ke-9, juga dihormati lantaran welas asihnya. Belas kasih dinyatakan dengan menyediakan lingkungandimana agama bisa berkembang. Menjaga kedamaian, melindungi banyak sekali situs suci, mendorong pembelajaran agama, dan, di atas semuanya, melaksanakan ritual pemurnian untuk membuat tanah sanggup diterima oleh para yang kuasa yakni aspek-aspek berbeda dari satu misi tunggal: pengajaran makna keagamaan dari kehidupan di bumi. Status kesepian penguasa tidak memisahkannya dari aspirasi agama rakyatnya; Prambanan memberikan legalisasi terhadap kepentingan komunitas antara penguasa dan yang diperintah. Prasasti 856 menyatakan bahwa tangki air pemurnian, diisi oleh sungai yang dialihkan, tersedia sebagai sentra ziarah untuk berkat rohani. Pertapaan telah dibangun di kompleks Prambanan, dan prasasti tersebut menyatakan bahwa mereka "menjadi bagus untuk ditiru."
Monumen-monumen besar periode ke-9 memperlihatkan suasana budaya di mana peristiwa-peristiwa terjadi. Salah satu perkembangan gres di Jawa Tengah yakni bahwa raka yang bisa (penguasa lokal) secara sedikit demi sedikit mampu, ketika peluang muncul, untuk memecah-mecah tanah beberapa raka dan menyerap tanah-tanah lainnya. Pada dikala yang sama, mereka membangun jalur komunikasi antara mereka dan desa-desa untuk menjamin pendapatan dan menjaga keseimbangan antara tuntutan mereka sendiri dan kepentingan masyarakat pertanian yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan makmur. Ketika seorang penguasa memanifestasikan sifat-sifat ilahi, ia akan menarik orang-orang yang yakin bahwa mereka akan mendapatkan jasa agama ketika mereka mendukungnya. Para pangeran setempat dari seluruh Dataran Kedu membangun tempat-tempat suci kecil di sekitar candi utama Prambanan dengan cara yang mengingatkan pada jemaat yang berkumpul di sekitar seorang pemimpin agama. Tulisan 856 menyatakan bahwa mereka membangun "riang."

Jawa Timur dan kepulauan dari tahun 1000 hingga 1300

Dokumentasi dalam bentuk prasasti dan monumen berhenti di Jawa Tengah sehabis awal periode ke-10. Untuk periode lebih dari 500 tahun, sedikit yang diketahui ihwal insiden di Jawa Tengah, dan perkembangan simultan di Jawa barat dan di kait timur pulau itu juga masih menjadi misteri. Bukti insiden tahun-tahun ini tiba hampir secara langsung dari lembah Sungai Brantas dan lembah-lembah di sebelah timur Jawa. Pergeseran mendadak dalam lokus dokumentasi ini tidak pernah dijelaskan secara memuaskan. Kaprikornus berdasarkan saya, memang pada masa itu, Jawa Timur berkembang pesat, sedangkan wilayah Jawa lain mungkin stagnan.

Pemerintah dan politik

Jawa Timur tidak membentuk unit politik alami. Tidak ada satu kota pun yang begitu diberkahi sumber daya lokal sehingga muncul sebagai modal permanen; sebaliknya, kediaman raja yang telah dikalahkan hanya ditinggalkan begitu saja. Tidak ada jejak lokasi beberapa kompleks kerajaan ini. Masalah pemerintah dalam kondisi ini diilustrasikan oleh insiden periode ke-11.
Pada 1016 kota penguasa Jawa timur dihancurkan, kemungkinan oleh pengikut pemberontak, dalam apa yang tertulis pada prasasti 1041 (disebut prasasti "Calcutta") sebagai "penghancuran dunia." Akibatnya, kerajaan hancur, tetapi dipulihkan oleh menantu raja yang sudah mati Erlangga (Airlangga), seorang pangeran setengah Bali. Erlangga hidup dengan para pertapa, mungkin mempraktikkan asketisme, dari tahun 1017 hingga 1019, tahun ketika ia dipuji sebagai penguasa kerajaan kecil Pasuruan, bersahabat delta Brantas. Dia tidak bisa mengambil serangan militer hingga 1028, bagaimanapun, dan keberhasilan terakhirnya tidak hingga tahun 1035; ia mengirim lawan terakhirnya dengan memprovokasi pemberontakan dengan cara yang diajarkan oleh Kautilya, penguasa tata negara India yang merekomendasikan penggunaan subversi terhadap musuh. Kemenangan Erlangga berangsur-angsur membenarkan klaimnya akan kekuatan ilahi, dan dalam goresan pena β€œCalcutta” ia menyatakan harapan bahwa semua orang di negeri ini kini sanggup menjalani kehidupan beragama.
Erlangga kemudian membuka kancing hasil prestasinya. Meramalkan bahwa dua putranya akan bertengkar, ia membagi kerajaannya sehingga satu putra harus memerintah pecahan selatan, yang dikenal sebagai Panjalu, Kadiri, atau Daha, dan yang lainnya di pecahan utara, Janggala. Putra-putra Erlangga menolak untuk menghormati niat ayah mereka. Pertempuran pecah, dan para penguasa Kadiri tidak sanggup membangun dominasi mereka yang gelisah atas kerajaan hingga awal periode ke-12. Konsekuensi dari keputusan Erlangga untuk memecah kerajaan diratapi di Nagarakertagama, sebuah puisi yang ditulis pada tahun 1365 yang bertahan dalam sebuah manuskrip yang ditemukan di Lombok pada selesai periode ke-19.
Rantai komando antara ibu kota dan desa-desa - dan jumlah pejabat yang terlibat - telah berkembang semenjak periode Jawa Tengah. Cita-cita kesatuan Jawa yang lebih besar, dilindungi oleh raja ilahi, mungkin paling dihargai oleh penduduk desa, lantaran mereka khususnya akan menerima manfaat dari perdamaian dan komunikasi internal yang aman. Prasasti terkadang mengakui rasa terima kasih raja atas pemberian penduduk desa pada dikala dibutuhkan. Desa-desa yakni sentra pemerintahan daerah yang makmur. Sebagai hasil dari meningkatnya kontak dengan pengadilan kerajaan, masyarakat desa kini menjadi lebih bertingkat, dengan gejala status yang rumit. Tetapi para penguasa lokal bisa membuat kesulitan bagi desa-desa dengan merusak aliran sungai atau menuntut banyak korban dari para pedagang. Dibandingkan dengan gangguan lokal ini, hak kerajaan untuk layanan penduduk desa dan pecahan dari produk mereka mungkin tidak dibenci. Tidak ada dokumen yang lebih dihormati daripada prasasti yang mencatat hak-hak desa.
Tanggung jawab sekuler utama raja yakni untuk melindungi tanah-tanah rakyatnya, termasuk tanah milik kuil dan biara-biara yang begitu mencolok sebagai fitur dari lanskap Jawa. Ketika raja ingin membangun sebuah kuil di tanah sawah, ia dibutuhkan untuk membeli tanah itu, bukan menyitanya. Di pengadilan ia dibantu oleh dewan kecil pejabat tinggi, yang jasanya dihargaiappanages dari tanah kerajaan. Dari anggota dewan, pewaris raja sepertinya yakni yang paling penting. Pejabat dewan memberikan keputusan kerajaan kepada bawahan, biasanya dengan mengunjungi para tetua desa dikala melaksanakan perjalanan keliling negara.
Aturan kerajaan mungkin tidak keras, sehingga protes yang telah dilestarikan mungkin dipicu oleh pemerintah yang luar biasa lemah. Hubungan yang masuk nalar antara penguasa dan penduduk desa sanggup dilihat dalam prasasti Bali tahun 1025 yang mencatat penjualan seorang raja dari tanah perburuannya ke sebuah desa sehabis penduduk desa mengeluhkan kurangnya tanah mereka. Para tetua desa duduk bersama para petugas aturan kerajaan untuk menjamin pengadilan dan vonis adil yang mencerminkan konsensus pendapat lokal. Hukum adat dimasukkan ke dalam statuta kerajaan. Orang-orang yang berduka sanggup meminta banding kepada raja untuk ganti rugi; kelompok-kelompok desa meminta bantuannya untuk pekerjaan irigasi skala besar. Desa-desa membayar pajak kepada penguasa, yang dengan demikian menikmati laba ekonomi dari penguasa daerah lainnya. Semuanya tergantung pada energi penguasa dan kesepakatan umum bahwa pemerintahnya melayani kepentingan semua.
Para pangeran Kadiri periode ke-12 memerintah atas tanah yang tidak pernah bebas dari pemberontakan. Pada 1222 raja Kertajaya dikalahkan oleh seorang petualang, Ken Angrok. Sebuah ibukota gres didirikan, dengan Ken Angrok sebagai raja, di Kutaraja β€” yang kemudian dinamai Singhasari β€” bersahabat pelabuhan Jawa Timur.

Kekaisaran Kertanagara

Perubahan keadaan ekonomi di kepulauan mempunyai dampak penting pada Jawa dimulai pada periode ke-13. Jauh sebelum periode ke-12, pelayaran Cina telah bisa melaksanakan perjalanan jauh, dan pedagang Cina berlayar langsung ke banyak sekali sentra produksi di kepulauan itu. Pelabuhan Jawa timur menjadi lebih makmur dari sebelumnya. Perdagangan wirausaha yang lebih kecil berkembang di pesisir sumatera dan Kalimantan dan di pulau-pulau lepas pantai di pintu masuk selatan ke Selat Malaka . Tumpukan keramik Tiongkok dari periode ke-12 hingga ke-14 menunjukan keberadaan sentra perdagangan penting di Kota Cina, bersahabat masa kiniMedan di pantai timur maritim sumatera. Sebagai akhir dari pergeseran dalam pola perdagangan ini, para pangeran Minangkabau di pedalaman sumatera tengah, pewaris pretensi penguasa besar Sriwijaya-Palembang , tidak sanggup mengembangkan pelabuhan Jambi sebagai sentra perdagangan yang kaya dan kuat. Kekosongan kekuasaan dengan demikian terbuka di lautan Indonesia barat, dan raja-raja Jawa bercita-cita untuk mengisinya.
Jawa mungkin telah usang dianggap sebagai sentra peradaban yang brilian, dan Jawa Kuno ( Kawi ) menjadi bahasa prasasti pulau Bali pada periode ke-11. Penyambungan ritual Tantra ke sebuah kuil megalitik di Bongkisam di Sarawak (bagian dari Kalimantan Malaysia), beberapa dikala sehabis periode ke-9, merupakan indikasi difusi budaya Jawa ke pinggiran maritim Indonesia. Pengaruh budaya Jawa di pulau-pulau lain hampir dipastikan mendahului dominasi politik.
Perpecahan di dunia Melayu dan ketenaran budaya Jawa tidak cukup untuk menjelaskan mengapa raja Jawa Kertanagara (memerintah tahun 1268–1992) menentukan untuk memaksakan wewenangnya pada Malayu di sumatera selatan pada tahun 1275. Telah dikemukakan bahwa kepedulian raja yakni melindungi kepulauan dari ancaman penguasa Mongol , Kublai Khan dengan mengorganisir aliansi keagamaan. Tetapi Kertanagara mungkin memberlakukan otoritas politiknya juga, meskipun tuntutannya akan terbatas pada ekspresi penghormatan dan penghormatan.
Kegiatan raja di luar negeri yang hampir niscaya dimaksudkan untuk meningkatkan nya prestise di Jawa itu sendiri, di mana ia tidak pernah bebas dari musuh. Prioritas politiknya tercermin dalam prasasti Sansekerta tahun 1289, yang dilampirkan pada gambarraja dengan kedok Buddha Aksobhya yang murka (seorang Buddha Dhyani yang lahir sendiri ), mengklaim bahwa ia telah memulihkan persatuan ke Jawa; eksploitasi di luar negeri tidak disebutkan.
Isi doktrinal yang sempurna dari sekte Tantra Kertanagara tidak diketahui. Dalam masa hidupnya dan sehabis kematiannya, para pendukungnya menghormatinya sebagai seorang Shiva-Buddha. Mereka percaya bahwa ia telah memanfaatkan kekuatan ghaib yang memungkinkan ia untuk menghancurkan "mahluk jahat" yang berusaha memecah belah Jawa. Prapancha, penyair periode ke-14, penulis Nagarakertagama dan penyembah Kertanagara, pada satu kesempatan menyebut raja sebagai "Buddha Vairocana" dan menghubungkannya dengan seorang permaisuri ritual yang, bagaimanapun, yakni pendamping Buddha Aksobhya. Prapancha juga mengagumi semangat keilmuan raja dan terutama penampilan tekunnya dalam latihan keagamaan untuk kebaikan umat manusia..
Peran pertapa kerajaan telah usang menjadi fitur yang lazim dari kerajaan Jawa. Raja yang telah dimakamkan di makam Prambanan periode ke-9 diidentifikasikan dengan Shiva, guru asketisme. Pada awal periode ke-13 Raja Angrok, berdasarkan kronik kemudian, menganggap dirinya sebagai Bhatara Guru, guru ilahi yang disamakan dengan Siwa. Para imam Shaivite dan Mahayana telah berada di bawah pengawasan kerajaan setidaknya semenjak periode ke-10. Akibatnya, konsep Tantra ihwal Buddha Siwa, yang diajarkan oleh Kertanagara, tidak dianggap luar biasa. Spekulasi agama Jawa tiba untuk menafsirkan Shaivisme dan Mahayana sebagai acara identik untuk keselamatan pribadi, dengan dewa-dewa pelengkap. Persatuan dengan keilahian, yang ingin dicapai di sini dan sekarang, yakni tujuan dari semua petapa, termasuk raja, yang dianggap sebagai teladan keterampilan asketik.
Status agama Kertanagara, serta problem dan kebijakan politiknya, berada di Jawa periode ke-13 sama sekali bukan fitur eksentrik atau kontradiktif. Memang, otoritas agama dan politik semacam itu memungkinkan Kertanagara untuk mengambil laba dari keadaan yang berasal dari perdagangan Cina di kepulauan itu untuk memperluas kekuatan ilahi di luar Jawa itu sendiri. Pada periode ke-14, penghormatan para penguasa luar negeri kepada raja Jawa diterima begitu saja.

Era Majapahit

Pada 1289 raja Jawa Kertanagara diperlakukan dengan buruk. Utusan Kublai Khan , yang telah dikirim untuk menuntut pengajuan raja. Kaisar Mongol mengadakan ekspedisi eksekusi pada 1292, tetapi Kertanagara dibunuh oleh pemberontak Kediri , Jayakatwang, sebelum penjajah mendarat. Jayakatwang pada gilirannya dengan cepat digulingkan oleh menantu Kertanagara, yang kemudian dikenal sebagai Kertarajasa, yang memakai bangsa Mongol untuk manfaatnya sendiri dan kemudian memaksa mereka untuk mundur dalam kebingungan. Ibu kota kerajaan dipindahkan ke Majapahit . Selama beberapa tahun penguasa gres dan putranya, yang menganggap diri mereka sebagai penerus Kertanagara, harus menekan pemberontakan di Jawa; tidak hingga 1319 otoritas Majapahit didirikan dengan kuat di Jawa dengan pemberian prajurit yang populer Gajah Mada . Gajah Mada yakni kepala pejabat negara pada masa pemerintahan putri Kertanagara, Tribhuvana ( sekitar 1328–50), dan pada tahun-tahun ini efek orang Jawa dipulihkan di Bali , sumatera , dan Kalimantan . Cicit Kertanagara, Hayam Wuruk , menjadi raja pada tahun 1350 dengan gelar Rajasanagara.
Pemerintahan Hayam Wuruk (1350-89) dikenang di kepulauan ini sebagai periode paling sukses dalam sejarah Jawa. Puisi Prapancha: "Nagarakertagama" memberikan pandangan kerajaan yang langka dari sudut pandang periode ke-14. Puisi itu, awalnya disebut Desa warnana ("Deskripsi Negara"), menggambarkan dirinya sebagai "kuil sastra" dan berusaha untuk memperlihatkan bagaimana keilahian kerajaan merembes ke dunia, membersihkannya dari kotoran dan memungkinkan semua untuk memenuhi kewajiban mereka kepada para yang kuasa dan karenanya ke tanah suci β€” kerajaan Jawa yang kini tidak terbagi. Puisi itu ibarat tindakan ibadah daripada kronik. Penyair tidak menyembunyikan niatnya untuk memuliakan raja, dan, dalam tradisi puisi Jawa, ia mungkin telah memulainya di bawah rangsangan meditasi saleh yang dimaksudkan untuk membawanya ke dalam kontak dengan keilahian yang diwujudkan dalam raja.
Wilayah inti pemerintahan Hayam Wuruk mungkin jauh lebih luas daripada pendahulunya. Penguasa teritorial yang penting, terikat pada keluarga kerajaan lantaran perkawinan, dibawa di bawah pengawasan melalui penggabungan mereka ke dalam manajemen pengadilan. Meskipun jaringan yayasan religius kerajaan berpusat di ibukota, masih belum terang apakah struktur pemerintahan yang lebih terpusat dan bertahan diperkenalkan atau apakah kesatuan kerajaan dan otoritas penguasa masih bergantung pada prestise pribadi penguasa. Prapancha, setidaknya, tidak menganggap Hayam Wuruk tingkat otoritas yang tidak realistis, meskipun puisinya merupakan representasi atribut-atribut ketuhanan kerajaan yang tidak disamarkan dan imbas kekuasaan ilahi di Jawa. Dalam perjalanan mereka di sekitar kerajaan, pejabat bawahan menegaskan otoritas kerajaan mereka dalam hal-hal mirip pajak dan kontrol yayasan keagamaan. Tanda prestise raja yakni keputusannya untuk melaksanakan survei tanah untuk memastikan bahwa hak-hak rakyatnya dipertahankan. Dengan tidak adanya sistem manajemen yang rumit, otoritas pemerintah diperkuat oleh keberadaan wakil-wakilnya di mana-mana, dan tidak ada yang memberikan referensi yang lebih keras daripada raja sendiri. Menurut Prapancha, "sang pangeran tidak usang berada di kediaman kerajaan," dan banyak dari puisi itu yakni cerita perkembangan kerajaan.Mahayana , Shaivite, dan situs suci Jawa kuno. Perjalanannya yang tak kenal lelah , setidaknya pada tahun-tahun awal masa pemerintahannya, berarti bahwa banyak rakyatnya mempunyai kesempatan untuk tiba ke hadapan seseorang yang mereka anggap sebagai wadah keilahian.
Salah satu pecahan paling menarik dari Nagarakertagama yakni ihwal tahunan Upacara Tahun Baru , ketika kekuatan penyucian raja diperkuat oleh manajemen air suci. Upacara tersebut, yang dihadiri oleh para pengunjung India yang berilmu, memungkinkan sang penyair untuk menyatakan bahwa satu-satunya negara yang populer yakni Jawa dan India lantaran keduanya berisi banyak pakar agama. Tidak ada waktu dalam tahun itu kiprah agama raja lebih tegas diakui daripada di Tahun Baru, ketika para tokoh kerajaan, utusan vasal, dan para pemimpin desa pergi ke Majapahit untuk memberi penghormatan dan untuk diingatkan akan kiprah mereka. Upacara berakhir dengan pidato kepada para pengunjung ihwal perlunya menjaga perdamaian dan memelihara sawah . Raja menjelaskan bahwa hanya ketika ibu kota didukung oleh pedesaan yang kondusif dari serangan "pulau asing."
Karena puisi itu memuliakan raja, tidak mengherankan bahwa lebih dari 80 tempat di kepulauan itu digambarkan sebagai wilayah bawahan dan bahwa kerajaan daratan, kecuali Vietnam , dikatakan dilindungi oleh raja. Prapancha, percaya bahwa kemuliaan raja meluas ke segala arah, menggambarkan secara terperinci apa yang dianggapnya sebagai batas ruang yang relevan. Tidak kurang dari 25 tempat di Sumatera dicatat, dan Maluku , yang rempah-rempah dan produk lainnya merupakan sumber kekayaan kerajaan, terwakili dengan baik. Di sisi lain, Sulawesi utara (Sulawesi) dan Filipina tidak disebutkan.
Selama masa Hayam Wuruk, prestise orang Jawa di luar negeri tidak diragukan lagi cukup besar, meskipun raja menuntut tidak lebih dari penghormatan dan upeti dari bawahannya yang lebih penting, mirip penguasa Malayu di sumatera. Pada 1377, ketika seorang penguasa Malayu gres berani mencari investasi dari pendiri dinasti Ming di Cina , utusan Hayam Wuruk di Nanking meyakinkan kaisar bahwa Malayu bukan negara merdeka. Pengaruh Jawa di kepulauan itu, bagaimanapun, bergantung pada otoritas penguasa di Jawa itu sendiri. Ketika Hayam Wuruk meninggal pada 1389, penguasa Palembang di sumatera pecahan tenggara melihat peluang untuk menolak status bawahannya. Dia telah mencatat pemulihan dinasti Ming dari sistem perdagangan anak sungai yang telah usang ditinggalkan dan pelarangan pelayaran Cina ke Asia Tenggara dan menduga bahwa pedagang asing akan lagi memerlukan semacam akomodasi pengusaha di Indonesia barat yang telah disediakan Sriwijaya-Palembang berabad-abad sebelumnya. Dia bahkan mungkin telah mengumumkan dirinya sebagai seorang bodhisattva dan pewaris maharaja dari Sriwijaya. Orang Jawa mengusirnya dari Palembang, dan ia melarikan diri ke Singapura dan kemudian ke Malaka di Semenanjung Melayu .

Pengaruh Islam di Indonesia

Kerajaan Islam di utara sumatera

Orang-orang Islam dari luar telah berdagang di Indonesia dan Cina selama berabad-abad; sebuah kerikil nisan Muslim di Jawa Timur dikenakan tanggal yang sesuai dengan 1082. Namun, bukti substansial Islam di Indonesia hanya ada semenjak selesai periode ke-13, di sumatera utara. Dua kerajaan perdagangan Muslim ada pada waktu itu di Samudra-Pasai dan Perlak. Sebuah makam kerajaan di Samudra-Pasai, yang berasal dari tahun 1297, ditulis seluruhnya dalam bahasa Arab. Pada periode ke-15 dasar Islam di Indonesia telah berlipat ganda dengan munculnya beberapa kerajaan pelabuhan, diperintah oleh pangeran Muslim lokal, di pantai utara Jawa dan di tempat lain di sepanjang rute perdagangan utama sejauh timur dan Ternate dan Tidore di Maluku.
Pembentukan pusat-pusat Muslim pertama di Indonesia mungkin merupakan hasil dari keadaan komersial. Pada periode ke-13, dengan tidak adanya usaha yang kuat dan stabil di Indonesia barat, pedagang asing tertarik ke pelabuhan di pantai sumatera utara Teluk Bengal, jauh dari sarang bajak maritim berbahaya yang telah muncul di ujung selatan kota. Selat Malaka sebagai Sriwijaya kehilangan pengaruhnya. Sumatera utara mempunyai daerah pedalaman yang kaya akan emas dan hasil hutan, dan lada dibudidayakan pada awal periode ke-15, yang sanggup diakses oleh semua pedagang nusantara yang ingin bertemu kapal dari Samudra Hindia. Menjelang selesai periode ke-14, Samudra-Pasai telah menjadi sentra komersial yang kaya, tetapi pada awal periode ke-15 jalan itu menuju pelabuhan Malaka yang lebih terlindungi dengan baik di pantai barat daya Semenanjung Melayu. Perantara Jawa, berkumpul di Malaka, memastikan pentingnya pelabuhan.
Kemasyhuran ekonomi dan politik Samudra-Pasai hampir sepenuhnya bergantung pada orang asing. Pedagang dan guru Muslim kemungkinan terkait dengan manajemen kerajaan semenjak awal, dan institusi keagamaan diperkenalkan untuk membuat Muslim asing merasa betah. Ada kerajaan pelabuhan gres yang serupa di pantai utara Jawa, beberapa di antaranya β€” termasuk Cirebon, Demak, Japara, dan Gresik 😘 β€” disebutkan oleh penulis Portugis periode ke-16 TomΓ© Pires dalam Suma Oriental-nya. Kerajaan Jawa ini ada untuk melayani perdagangan dengan dunia Muslim yang luas dan terutama dengan Malaka, importir beras Jawa. Demikian pula, penguasa Malaka, meskipun berasal dari Palembang yang bergengsi, telah mendapatkan Islam untuk menarik para pedagang Muslim dan Jawa ke pelabuhan mereka. Jaringan komunikasi yang menguntungkan dengan dunia Muslim di Asia ini, dikombinasikan dengan pernyataan Islam ihwal kesetaraan semua orang percaya, membantu mendorong daerah-daerah mirip itu dari pinggiran budaya Shaivite-Mahayana ke posisi-posisi efek di kepulauan Indonesia.
Namun, insiden periode ke-15 dan ke-16 bukan hanya konsekuensi dari efek ide-ide baru; ambisi politik banyak pangeran regional juga memicu perubahan yang cepat, gelisah, dan tak menentu. Aceh, yang menggantikan Samudra-Pasai pada periode ke-16 sebagai kerajaan pelabuhan terkemuka di sumatera utara, menjadi negara Muslim yang sadar diri, meskipun gagasan β€œHindu” ihwal kerajaan ilahi mungkin telah bertahan secara lokal hingga selesai periode ke-17. Aceh mempunyai kontak dengan Muslim India dan sekolah mistisisme Muslim heterodoksnya sendiri; para sultannya juga mencari aliansi dengan Kekaisaran Ottoman melawan Portugis, yang telah menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Para pangeran Melayu di Malaka telah menampatkan rakyat yang beragama islam di pantai timur sumatera pada periode ke-15, tetapi ketika Malaka ditangkap oleh Portugis, para pangeran memindahkan ibukota mereka ke selatan di Semenanjung Melayu ke Johor (Johore) dan secara sedikit demi sedikit terlibat dalam konflik tidak hanya dengan Portugis tetapi juga dengan orang Aceh untuk menguasai Selat Malaka. Aceh, pada bagiannya, tidak sanggup memaksakan keyakinannya pada dataran tinggi Batak di pedalaman. Keuntungan terbesar bagi Islam di sumatera yakni di negara Minangkabau, tempat kultus Tantra Shaivite-Mahayana berkembang pada periode ke-14; pada awal periode ke-17, Islam telah berkembang jauh ke wilayah Minangkabau melalui pantai Aceh.

Islam di Jawa πŸ•Œ

Pusat-pusat Islam sumatera mempunyai hubungan komersial dengan bagian-bagian lain , tetapi tidak terlibat erat dalam insiden di luar lingkungan terdekat mereka. Di Jawa , di sisi lain, jarak yang sanggup diabaikan antara kekuatan Muslim di pinggiran pantai dan kerajaan-kerajaan pedalaman yang mapan memungkinkan ketegangan untuk berkembang. Orang-orang Islam tidak menggulingkan kerajaanMajapahit ; alih-alih, kerajaan, yang dilemahkan oleh pertikaian dalam keluarga kerajaannya dan dikeluarkan dari perdagangan luar negeri, hanya layu dan menghilang pada awal periode ke-16. Berlalunya Majapahit hegemoni , namun, meninggalkan kekosongan kekuasaan di Jawa yang memicu konflik langsung tidak hanya antara Muslim dan non-Muslim masyarakat tetapi juga antara kekuatan Islam hierarki dan orang-orang dari tradisional aristokrasi .
Abad 15, 16, dan 17 merupakan periode yang sangat gelisah dalam sejarah Jawa . Karakter militan Islam pesisir terbukti dalam pemaksaan keyakinan gres di Jawa Barat dan juga di Palembang di sumatera selatan . Dengan penyebaran Islam muncul perluasan struktur kekuatannya. Dampak dari perluasan ini, terutama dari sudut pandang politik, tampak terang dalam amarahnya Mataram , kerajaan Muslim terbesar di Jawa periode ke-17, menyerang para pangeran dan tokoh Muslim di pantai utara.
Konflik sepertinya dimulai dengan tekad penguasa pesisir kesultanan Islam Demak pada paruh pertama periode ke-16 untuk memerintah kerajaan Jawa yang besar. Terutama lantaran pelabuhan mereka tumbuh lebih kaya dan dinasti mereka lebih bau tanah dan lebih percaya diri, para pangeran pantai tiba untuk melihat diri mereka tidak hanya sebagai pemimpin Muslim tetapi sebagai aristokrat Jawa. Pretensi mereka tercermin dalam pernyataan TomΓ© Pires bahwa mereka memupuk kebiasaan "ksatria" aristokrasi kuno. Tetapi ketika Demak berusaha memperluas pedalaman, dengan membawa Islam, pasukannya tidak boleh pada pertengahan periode ke-16 oleh kerajaan Pajang. Beberapa tahun kemudian kerajaan Mataram Jawa tengah muncul. Puncak dari konflik terjadi pada paruh pertama periode ke-17, ketikaAgung , penguasa Mataram, mengambil ofensif dan menghancurkan negara-negara pantai dan dengan mereka basis perdagangan luar negeri Jawa.
Islam yang tiba ke Indonesia dari India, mungkin dari India selatan, membawa sekte gaib heterodoks Sufisme , yang karakternya mungkin tidak asing bagi pertapa Jawa . Baik seorang wali sufi maupun seorang guru Jawa kemungkinan memahami dan saling menghormati kerinduan satu sama lain untuk persatuan pribadi dengan Tuhan. Tradisi Jawa, di mana sekelompok kecil murid diprakarsai oleh seorang guru ke dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi, disejajarkan dengan metode pengajaran sufi. Bagi para teolog Muslim dan cendekiawan Jawa, keprihatinannya selalu kurang dengan sifat ilahi daripada dengan keterampilan untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Teks-teks Arab, pada akhirnya, cenderung dibacakan sebagai alat bantu meditasi, mirip halnya mantra Tantra .
Akan tetapi, murid-murid Islam Jawa yang paling awal bukanlah perwakilan yang bijaksana dari sistem keagamaan sebelumnya di Jawa, tetapi orang-orang yang rendah hati di pantai yang telah ditinggalkan di luar pemikiran tradisional pengadilan dan orang-orang yang tinggal di sana. Orang-orang ini niscaya melihat dalam Islam sebuah pesan harapan sederhana, yang memperlihatkan tidak hanya keyakinan pribadi yang menyenangkan, tetapi juga peluang untuk kemajuan sekuler dalam masyarakat perdagangan di mana pangkat tidak sepenting semangat. Sastra Muslim awal mempunyai tema petualang pengembara yang berasal dari asal-usul yang tidak jelas, menjadi baik, dan mencari penghiburan dari Islam. Bagi para murid Muslim mirip ini, masa memperlihatkan cara yang tak terbatas untuk mencapai kesuksesan, baik dalam perdagangan atau dalam pelayanan para pangeran yang ambisius. Pangeran-pangeran ini, bangsawan, dan juga produk Islam, membutuhkan penjaga hati nurani mereka, penasihat istana, dan, terutama, komandan militer. Bagi elite baru, kemajuan Islam pesisir membawa laba spiritual dan material.
Semua ini sangat mengganggu bagi mereka yang tinggal di pedalaman yang telah dibina dalam tradisi yang lebih bau tanah dan tidak melihat alasan untuk meninggalkan nilai-nilai Shaivite-Mahayana mereka. Bagi para aristokrat di pedalaman, ingatan akan sistem pemerintahan hierarkis Majapahit di bawah raja yang mirip yang kuasa mewakili standar sikap beradab yang harus ditegaskan dengan segala cara melawan kekuatan-kekuatan kebingungan yang dilepaskan oleh penduduk pesisir. Kontak antara para darwis sufi yang berkeliaran dan petani, pada dikala yang akutkesusahan yang disebabkan oleh peperangan, dan kepura-puraan pejabat pengadilan Muslim, beberapa di antaranya mengklaim status keagamaan istimewa tanpa preseden dalam sejarah Jawa, sepertinya mengancam fondasi masyarakat. Penguasa kerajaan pedalaman Pajang digambarkan dalam kronik Jawa sebagai pertapa dan sebagai putra dan cucu pertapa. Dalam hal ini, ia yakni raja Jawa sejati. Ketika, beberapa generasi kemudian, penguasa Mataram menghancurkan negara-negara pantai, ia akhirnya berusaha menghancurkan kekuatan-kekuatan yang memisahkan Jawa. Ini dalam tradisi raja Jawa sebelumnya. Penaklukannya merupakan pecahan dari misinya mirip yang dilakukan Kertanagara di periode ke-13.
Di bawah hegemoni Mataram pada periode ke-17, Islam di Jawa diizinkan untuk bertahan hidup hanya dengan persyaratan kerajaan Jawa. Efek inovatifnya ditunda hingga selesai periode ke-19. Sebagai salah satu dari beberapa kegiatan keagamaan, Islam menjadi toleran di mata orang Jawa. Para pejabat Muslim di istana Mataram menjadi hamba yang baik dan patuh dari penguasa. Belakangan, para sarjana kembali ke studi genre sastra Jawa sebelumnya , termasuk teks-teks yang mengajarkan sifat pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai dunia "Hindu-Jawa". Di pedesaan, Islam tetap besar lengan berkuasa di masa-masa kesusahan sosial, ketika ia berkhotbah kepada para petani yang rugi, dengan kisah-kisah isalami . Sebagai efek sastra, Islam bertahan dalam bentuk teks dan puisi mistis,kisah-kisah romantis , dan, kemudian, pinjaman oleh sejarawan pengadilan pedalaman materi dari Serat Kanda ("Sejarah Sejati") dari budaya pesisir . Pinjaman tersebut merupakan bukti tidak hanya dampak Islam di Jawa tetapi juga sifat penggabungannya ke dalam hierarki kekuasaan tradisional.

Perluasan Pengaruh Eropa 🏰

Meskipun kehadiran pedagang Portugis di Nusantara relatif tidak penting di Jawa periode ke-16, jatuhnya Malaka di Semenanjung Melayu ke Portugis pada tahun 1511 merupakan titik balik dalam sejarah Indonesia. Pada selesai periode ini, tingkat perdagangan Muslim Indonesia dengan Timur Tengah , dan dari sana dengan Eropa, yakni yang terbesar yang pernah ada. Ketika perdagangan berkembang, Portugis berusaha untuk mengamankan kontrol perdagangan dengan Maluku β€” Kepulauan Rempah - Rempah .
Pada selesai periode ke-16, bagaimanapun, peningkatan Kepentingan Belanda dan Inggris di wilayah tersebut memunculkan serangkaian perjalanan, termasuk yang dari James Lancaster (1591 dan 1601), Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman (1595 dan 1598), dan Jacob van Neck (1598). Pada 1602 ituDutch East India Company (nama resmi United East India Company [Vereenigde Oost-Indische Compagnie; VOC]) mendapatkan piagamnya, dua tahun sehabis pembentukan Perusahaan India Timur Inggris . VOC kemudian meresmikan upaya untuk mengecualikan pesaing Eropa dari nusantara β€” disebut Hindia Timur oleh orang Eropa. Ia juga berusaha untuk mengendalikan perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang orisinil Asia dan untuk mendirikan monopoli komersialnya sendiri.
Monopoli sendiri bukanlah penemuan di nusantara; Aceh , misalnya, telah mengendalikan perdagangan di pantai barat maritim dan timur sumatera. Akan tetapi, monopoli perusahaan lebih luas dan menjadi dasar kekaisaran teritorial Belanda. Karena alasan ini banyak orang cenderung melihat tahun 1511 atau pergantian periode ke-17 sebagai awal dari periode dominasi Eropa yang berlangsung hingga periode ke-20.
Namun, semenjak tahun 1930-an, beberapa sejarawan telah mengkritik pandangan bahwa orang Eropa yakni faktor utama dalam membentuk sejarah Hindia Timur semenjak periode ke-17 dan seterusnya. Sebaliknya, mereka telah menekankan kesinambungan yang penting dari sejarah Indonesia dan beropini bahwa VOC pada awalnya membuat sedikit perubahan dalam pola politik atau komersial tradisional. Perdagangan tradisional Asia, berdasarkan satu pandangan, yakni perdagangan menjajakan non-kapitalis, didanai oleh kelas ningrat di negara-negara Asia dan dilakukan oleh pedagang kecil yang tak terhitung jumlahnya yang mengumpulkan rempah-rempah dan lada di Hindia untuk dibuang di kota-kota pelabuhan Asia. Dalam pandangan ini, VOC dilihat, pada dasarnya, hanya sebagai pangeran pedagang lain, secara sedikit demi sedikit memasukkan dirinya ke dalam pola perdagangan Kepulauan Rempah-rempah yang ada dan beradaptasi dengan mereka. Karena Batavia (sekarang Jakarta ) menjadi markas tempat ia mendirikan pabrik (pos perdagangan) di Kepulauan Rempah-rempah dan di tempat lain, perusahaan secara sedikit demi sedikit menjadi kekuatan teritorial, tetapi pada awalnya, hanya satu kekuatan di antara yang lain dan belum menjadi penguasa. wilayah. Hanya selama periode ke-19 kekuatan-kekuatan ekonomi baru, produk dari kapitalisme industri, meledak di kepulauan itu dan menenggelamkannya di bawah gelombang gres imperialisme Eropa.

Pertumbuhan dan dampak Perusahaan Hindia Timur Belanda

Terlepas dari apakah orang Eropa merupakan kekuatan sejarah utama di Indonesia periode ke-17, kehadiran mereka tidak diragukan lagi memprakarsai perubahan yang dalam jangka panjang akan menjadi sangat penting. VOC sendiri mewakili jenis kekuatan gres di wilayah tersebut: VOC membentuk sebuah organisasi tunggal, berdagang melintasi wilayah yang luas, mempunyai kekuatan militer yang unggul, dan, pada waktunya, memakai birokrasi para pelayan untuk menjaga keprihatinannya di Hindia Timur. Singkatnya, itu bisa memaksakan kehendaknya pada penguasa lain dan memaksa mereka untuk mendapatkan persyaratan perdagangannya. Di bawah kepemimpinan gubernur Jan Pieterszoon Coen dan para penggantinya, khususnya Anthony van Diemen (1636-45) dan Joan Maetsuyker (1653–78), perusahaan meletakkan fondasi kerajaan komersial Belanda dan menjadi kekuatan terpenting di Nusantara.
Selama periode ke-17 VOC melangkah jauh ke arah membangun kontrol komersial di pulau-pulau Indonesia. Ia merebut Malaka dari Portugis (1641), mengurung Inggris β€” sehabis periode persaingan sengit β€” ke pabrik di Bencoolen (sekarang Bengkulu ), di sumatera barat daya , dan membangun jaringan pabrik di pulau-pulau timur. Meskipun mungkin ingin membatasi kegiatannya untuk perdagangan, perusahaan itu segera ditarik ke politik lokal di Jawa dan di tempat lain, dan, untuk menjadi wasit dalam sengketa dinasti dan dalam konflik antara penguasa saingan, itu niscaya muncul sebagai entitas politik utama di kepulauan.
Pada 1620-an Sultan Agung , penguasa kerajaan Jawa tengah Jawa Tengah, Mataram dan perwakilan dari peradaban Jawa kuno dan sangat canggih, berusaha memperluas kekuasaannya, Bantam (dekat Banten sekarang) di Jawa Barat. Ini membawanya ke dalam konflik dengan Belanda, dan ia mengepung benteng Belanda di Batavia . Meskipun pasukan Agung pada akhirnya dipaksa untuk mundur, hasil dari konfrontasi itu tidak meyakinkan dan membuat Belanda dan Jawa waspada terhadap kekuatan masing-masing. Intervensi Belanda dalam urusan Jawa meningkat pada periode ke-17 dan awal ke-18, lantaran pertikaian internal di Mataram dan serangkaian perang suksesi antara orang-orang yang berpura-pura menjadi raja. Sebagai imbalan atas jasanya pada tahun 1674 untuk Amangkurat I, penerus Sultan Agung, dan kemudian ke Amangkurat II tak usang kemudian, VOC mendapatkan penyerahanPreanger wilayah Jawa Barat.
Ini yakni yang pertama dari serangkaian kemajuan teritorial utama. Pada 1704 pasukan Belanda membantu menggantikan Amangkurat III dengan pamannya, Pakubuwono I, sebagai imbalannya wilayah selanjutnya diserahkan. Dengan cara ini, hampir seluruh Jawa secara sedikit demi sedikit berada di bawah kendali Belanda, dan pada tahun 1755 hanya sisa kerajaan Mataram yang tersisa. Ini dibagi menjadi dua kerajaan, Yogyakarta (Yogyakarta) dan Surakarta (Solo), yang bertahan hingga selesai kekuasaan Belanda. Dalam upaya untuk mengendalikan perdagangan lada di Sumatera, VOC mendirikan pijakan di sumatera barat dan di Jambi dan Palembangselama periode ke-17, dan campur tangan dalam konflik lokal untuk mendukung penguasa yang mendukungnya. Namun, perluasan utama Belanda di sumatera gres terjadi pada periode ke-19.
Dalam memperoleh tanggung jawab teritorial, perusahaan pada awalnya tidak membangun sistem manajemen sendiri di wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali langsungnya. Akibatnya, VOC menggantikan kedaulatan pengadilan kerajaan dan, dengan demikian, mewarisi struktur otoritas yang ada. Seorang aristokrasi pribumi mengelola pengumpulan upeti atas nama perusahaan, dan hanya secara sedikit demi sedikit sistem ini diubah menjadi birokrasi formal. VOC, mirip pengadilan kerajaan sebelumnya, memperoleh pendapatan dalam bentuk produk dari kaum tani di dalam wilayah kekuasaannya.
Untuk melaksanakan monopoli komersialnya, VOC mendirikan pabrik-pabrik perusahaan untuk pengumpulan hasil panen, menekan penguasa individu untuk melaksanakan bisnis semata-mata dengan perusahaan, mengendalikan sumber pasokan produk tertentu (produksi cengkeh, misalnya, terbatas pada Ambon, pala dan palu ke Kepulauan Banda), dan, pada periode ke-18, didorong melalui sistem pengiriman dan kemungkinan darurat. Kontinjensi merupakan bentuk pajak yang harus dibayar dalam bentuk barang di daerah-daerah di bawah kendali langsung perusahaan; pengiriman paksa terdiri dari hasil panen yang memaksa petani setempat untuk tumbuh dan menjual kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan. Ada sedikit perbedaan di antara kedua perangkat tersebut. Secara teori, pengiriman paksa dianggap sebagai bentuk perdagangan di mana barang-barang dipertukarkan, tetapi pada kenyataannya, mereka yakni sarjana Inggris J.S. Furnivall menggambarkannya, β€œupeti yang disamarkan sebagai perdagangan,” sementara kontingensi yakni β€œupeti yang tidak disamarkan.” Akibatnya, seluruh sistem perdagangan perusahaan dirancang untuk mengekstraksi produk dari Hindia Timur untuk dibuang di pasar Eropa β€” tetapi tanpa merangsang teknologi mendasar apa pun. perubahan ekonomi daerah. Keuntungan itu milik perusahaan, bukan milik produsen. Pedagang pribumi di wilayah itu disingkirkan oleh VOC lantaran mendapatkan kontrol atas semakin banyak perdagangan ekspor nusantara. Pertumbuhan Batavia menghasilkan, misalnya, dalam penurunan pelabuhan pantai utara Jawa, di mana banyak perdagangan rempah-rempah telah disalurkan semenjak sebelum periode ke-15. Dengan cara ini pola perdagangan tradisional diperiksa dan didistorsi.
Selama periode ke-18, VOC mengalami kesulitan keuangan dari banyak sekali sebab: pelanggaran monopoli perusahaan dengan penyelundupan, meningkatnya biaya manajemen ketika perusahaan memikul tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah, dan korupsi para pelayan perusahaan. Lebih rumit lagi, Belanda (pada waktu itu, Republik Belanda) mengalah pada Prancis selama perang revolusioner Prancis dan direstrukturisasi dan berganti nama menjadi Republik Batavia pada tahun 1795. Pada tahun 1799, pemerintah republik (Belanda) menghentikan urusan Belanda. Perusahaan India Timur.

Prancis dan Inggris di Jawa, 1806–15 πŸ₯– πŸ’‚

Jatuhnya Belanda ke Prancis dan pembubaran perusahaan pada gilirannya menimbulkan perubahan signifikan dalam manajemen Hindia Timur. Di bawah Napoleon I, Republik Batavia menjadi Persemakmuran Batavia dan kemudian Kerajaan Belanda, dengan salah satu marshal Napoleon, Herman Willem Daendels, menjabat sebagai gubernur jenderal. Daendels memperkuat pertahanan Jawa, mengangkat pasukan baru, membangun jalan gres di Jawa, dan meningkatkan manajemen internal pulau itu. Dia berusaha untuk meresmikan posisi para bupati Jawa, menempatkan mereka di bawah kekuasaan para residen Belanda dan menekankan karakter mereka sebagai pegawai negeri dari pemerintah sentra daripada sebagai penguasa lokal yang semi independen.
Pada tahun 1811 Jawa jatuh ke tangan pasukan Hindia Timur Britania di bawah Baron Minto, gubernur jenderal India, yang, sehabis menyerah, menunjuk gubernur letnan Thomas Stamford Raffles. Raffles mendekati tugasnya dengan keyakinan bahwa prinsip-prinsip manajemen Inggris, yang sebagian dimodelkan pada prinsip-prinsip yang dikembangkan di Bengal, sanggup membebaskan orang Jawa dari tirani metode Belanda; ia percaya bahwa prinsip-prinsip ekonomi liberal dan penghentian penanaman wajib secara bersamaan sanggup memperluas produksi pertanian Jawa, meningkatkan pendapatan, dan menjadikan pulau itu pasar untuk barang-barang Inggris. Bersamaan dengan liberalismenya, Raffles memberikan rasa hormat kepada masyarakat Jawa pada tugasnya. Sebelum pengangkatannya, ia yakni seorang mahasiswa sastra dan budaya Melayu, dan selama masa tinggalnya di Batavia (Jakarta) ia mendorong studi masyarakat yang ia temukan ihwal dirinya. Raffles menemukan kembali reruntuhan candi Budha agung Borobudur di Jawa Tengah dan menerbitkan History of Java-nya pada tahun 1817, setahun sehabis kepulangannya ke Inggris.
Untuk melaksanakan monopoli komersialnya, VOC mendirikan pabrik-pabrik perusahaan untuk pengumpulan hasil panen, menekan penguasa individu untuk melaksanakan bisnis semata-mata dengan perusahaan, mengendalikan sumber pasokan produk tertentu (produksi cengkeh, misalnya, terbatas pada Ambon, pala dan palu ke Kepulauan Banda), dan, pada periode ke-18, didorong melalui sistem pengiriman dan kemungkinan darurat. Kontinjensi merupakan bentuk pajak yang harus dibayar dalam bentuk barang di daerah-daerah di bawah kendali langsung perusahaan; pengiriman paksa terdiri dari hasil panen yang memaksa petani setempat untuk tumbuh dan menjual kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan. Ada sedikit perbedaan di antara kedua perangkat tersebut. Secara teori, pengiriman paksa dianggap sebagai bentuk perdagangan di mana barang-barang dipertukarkan, tetapi pada kenyataannya, mereka yakni sarjana Inggris J.S. Furnivall menggambarkannya, β€œupeti yang disamarkan sebagai perdagangan,” sementara kontingensi yakni β€œupeti yang tidak disamarkan.” Akibatnya, seluruh sistem perdagangan perusahaan dirancang untuk mengekstraksi produk dari Hindia Timur untuk dibuang di pasar Eropa β€” tetapi tanpa merangsang teknologi mendasar apa pun. perubahan ekonomi daerah. Keuntungan itu milik perusahaan, bukan milik produsen. Pedagang pribumi di wilayah itu disingkirkan oleh VOC lantaran mendapatkan kontrol atas semakin banyak perdagangan ekspor nusantara. Pertumbuhan Batavia menghasilkan, misalnya, dalam penurunan pelabuhan pantai utara Jawa, di mana banyak perdagangan rempah-rempah telah disalurkan semenjak sebelum periode ke-15. Dengan cara ini pola perdagangan tradisional diperiksa dan didistorsi.
Selama periode ke-18, VOC mengalami kesulitan keuangan dari banyak sekali sebab: pelanggaran monopoli perusahaan dengan penyelundupan, meningkatnya biaya manajemen ketika perusahaan memikul tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah, dan korupsi para pelayan perusahaan. Lebih rumit lagi, Belanda (pada waktu itu, Republik Belanda) mengalah pada Prancis selama perang revolusioner Prancis dan direstrukturisasi dan berganti nama menjadi Republik Batavia pada tahun 1795. Pada tahun 1799, pemerintah republik (Belanda) menghentikan urusan Belanda. Perusahaan India Timur.
Perang Jawa 1825–30 timbul lantaran sejumlah alasan. Sebagian, itu yakni produk dari ambisi kecewa pemimpinnya,Pangeran Diponegoro , yang telah dilewati untuk suksesi takhta Yogyakarta . Namun, hal itu juga disebabkan oleh meningkatnya kebencian di antara para pemilik tanah aristokrat Yogyakarta, yang kontraknya untuk menyewakan tanah mereka kepada orang Eropa telah dibatalkan oleh gubernur jenderal. Ada juga dukungan dari para pemimpin Islam, serta faktor-faktor tersembunyi lainnya β€” mirip harapan akan kedatangan Penguasa Mesianis yang adil, yang akan memulihkan keharmonisan kerajaan β€” yang tidak diragukan lagi menambah iklim ketidakpuasan. Dari suasana gelisah ini meletus pemberontakan yang, melalui penggunaan seni manajemen gerilya yang terampil, terus menantang otoritas Belanda selama lima tahun, hingga Belanda menangkap Diponegoro selama perundingan gencatan senjata dan mengasingkannya ke Sulawesi.
Kira-kira pada waktu yang sama, Belanda di sumatera pecahan barat tertarik pada apa yang disebut Perang Padri (dinamai Paderi, sebuah kota di Aceh tempat para peziarah Muslim biasanya pulang dari Mekah). Pada dasarnya, perang itu yakni usaha agama di negara Minangkabau antara pemimpin Islam revivalis (disebut Padris) dan para pemimpin adat ("hukum adat"), yang didukung oleh Belanda. Di bawah Tuanku Imam Bonjol , pasukan Padri melawan tekanan Belanda dari awal 1820-an hingga 1837. Bagi Belanda, efek keterlibatan ini tak terhindarkan yakni penguatan komitmen administratif di Sumatera Barat.

Cultuurstelsel/ Sistem Budaya (Tanam Paksa) 🌴

Formasi pada tahun 1824 dari Masyarakat Perdagangan Belanda (Nederlandsche Handel-Maatschappij; NHM) β€”perusahaan yang merangkul semua pedagang yang terlibat dalam perdagangan Hindia Timur dan didukung oleh pemerintah Belanda dengan raja sebagai pemegang saham utamanya β€” tidak menghasilkan harapan untuk perluasan komersial. Pada tahun 1830, bagaimanapun, seorang gubernur jenderal yang gres ditunjuk,Johannes van den Bosch , menemukan metode gres di mana pemerintah sanggup memanfaatkan sumber daya nusantara. Inilah yang disebut Sistem Budaya , atau Sistem Kultivasi ( Cultuurstelsel ).
Sistem budaya atau dari sudut pandang Indonesia disebut tanam paksa, yaitu sebuah desa menyisihkan seperlima dari tanah yang bisa diolah untuk produksi tumbuhan ekspor. Tanaman ini harus diserahkan kepada pemerintah sebagai sewa tanah. Sewa tanah, kemudian, yakni ukuran jumlah yang akan diproduksi oleh masing-masing desa. Jika sebuah desa, melalui tumbuhnya tumbuhan ekspor di seperlima tanahnya, mengembalikan jumlah yang melebihi dari sewa tanah yang telah dinilai, itu akan bebas dari sewa tanah dan akan diganti sesuai dengan jumlah kelebihannya. ; di sisi lain, kalau sebuah desa menghasilkan kurang dari jumlah sewa tanah yang dinilai, itu harus membuat perbedaan.
Dari sudut pandang pemerintah, Sistem Budaya yakni keberhasilan yang luar biasa. Ekspor melonjak, naik dari 13 juta guldens (mata uang Belanda) pada 1830 menjadi 74 juta satu dekade kemudian. Produk-produk dibuang melalui Dutch Trading Society, dan antara tahun 1840 dan 1880 penjualan mereka membawa ke perbendaharaan Belanda rata-rata tahunan 18 juta guldens, sekitar sepertiga dari anggaran Belanda.
Namun, imbas dari sistem itu bagi orang Jawa mempunyai nilai yang lebih meragukan. Meskipun pendirinya percaya bahwa, dengan merangsang produksi pertanian, Sistem Kebudayaan pada akhirnya akan bermanfaat bagi masyarakat Jawa dan juga pemerintah dalam negeri, sistem itu kemudian dianggap baik oleh para kritikus Belanda maupun oleh pengamat luar, kebijakan yang sangat keras dan memberatkan. Namun, harapan Van den Bosch tidak sepenuhnya salah. Kebijakan itu memang memperluas produksi desa di daerah-daerah tertentu, dan populasi Jawa meningkat dari 6 juta menjadi 9,5 juta selama operasi penuh sistem. Kisaran ekspor dari Jawa diperluas, dan nila dan gula yakni barang pertama yang dijadikan subjek penanaman wajib; kopi , teh, tembakau, dan lada selanjutnya ditambahkan. Namun demikian, sistem ini membebani petani dan cenderung memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat pedesaan . Petani yang dominan, anggota elit pedesaan, bisa memanipulasi sistem untuk laba mereka. Dan sementara Sistem Budaya membawa pulau-pulau di kepulauan itu berafiliasi dengan pasar luar negeri yang lebih luas, pemerintah Hindia Belanda berdiri di antara produsen dan pasar, dan surplus tahunan ditambahkan pada kemakmuran Belanda, bukan Jawa. Sistem itu tidak melaksanakan apa pun untuk merangsang perubahan teknologi atau pembangunan ekonomi bagi orang Jawa. Peran komersial yang meningkat dimainkan bukan oleh penduduk orisinil populasi tetapi oleh imigran Cina, yang masuk ke dalam pemerintahan kolonial sebagai kasta terpisah, terlibat dalam pengumpulan pajak, peminjaman uang, dan perdagangan kecil.
Ada konsekuensi lain. Sistem Budaya menekankan perbedaan antara Jawa dan pulau-pulau terluar, dan di Jawa menimbulkan pengetatan yang cukup besar terhadap sistem administrasi. Bupati menjadi gembong sistem, bertanggung jawab kepada penduduk untuk pengiriman tumbuhan dari kabupatennya. Aman lantaran mereka didukung oleh kekuasaan Belanda, dalam beberapa perkara bupati memberlakukan beban tambahan pada rakyatnya β€” suatu perkembangan yang menerima kritik tajam dalam novel tersebut .Max Havelaar (1860), ditulis dengan nama samaran Multatuli oleh penulis Belanda Eduard Douwes Dekker, mantan pejabat pemerintah Hindia Timur. Tetapi imbas jangka panjang dari fungsi-fungsi gres yang dipaksakan kepada para bupati yakni untuk mengurangi independensi mereka dan untuk mempercepat prosesnya, dimulai oleh Daendels, di mana aristokrasi administratif yang terstruktur secara longgar diubah secara sedikit demi sedikit menjadi pegawai negeri yang digaji . Bupati tidak lagi sanggup mengambil pendapatan dari rakyatnya, dan garis wewenang terang dibatasi. Bupati, dibantu oleh seorang pejabat ingusan Belanda ( controleur), menjadi terang bertanggung jawab kepada penduduk Belanda di atas. Pada tahun 1860 divisi administratif Jawa telah didirikan dengan kuat, dan layanan yang mempekerjakan mereka telah memperoleh karakter yang intinya dipertahankan untuk sisa periode kolonial.
Pada tahun 1860-an Sistem Kebudayaan diserang tidak hanya dari tempat-tempat kemanusiaan tetapi juga dari kepentingan bisnis swasta di Belanda. Yang terakhir mengimbau prinsip-prinsip ekonomi liberal untuk mendukung hak mereka untuk menyebarkan dalam kekayaan Hindia; tekanan mereka efektif. Meskipun Sistem Budaya tidak dihapuskan dan berlanjut selama beberapa tahun untuk membuat kontribusinya bagi perbendaharaan Belanda, keputusan diambil untuk mendorong juga masuknya investasi swasta. Kebijakan Liberal, mirip yang disebut, secara efektif diresmikan pada tahun 1870 oleh adopsi undang-undang agraria yang memutuskan bahwa investor Eropa sanggup memperoleh tanah di bawah prasarana jangka panjang, baik dari pemilik tanah Indonesia atau, dalam hal tanah tidak dihuni, dari pemerintah. Perlindungan tertentu diberikan untuk pemilik tanah Indonesia: ketentuan bahwa orang Eropa menyewakan daripada membeli tanah dimaksudkan untuk mencegah alienasi tanah Indonesia, dan pemerintah dituduh juga mencegah orang Eropa dari menyewakan tanah yang dibutuhkan untuk subsisten penduduk desa.
Dalam kerangka ini modal Belanda mulai mengalir ke Hindia pada skala yang mengubah karakter ekonomi dan masyarakat Indonesia. Selama 60 tahun ke depan ada peningkatan 10 kali lipat dalam nilai ekspor (dari 107 juta guldens menjadi 1,16 miliar). Ada perubahan juga dalam jenis produk yang diekspor. Ekspor mirip kopi, gula, teh, dan tembakau terus meluas, tetapi materi baku industri mirip karet, kopra, timah, dan minyak segera mendominasi perekonomian ekspor. Perkembangan luar biasa ini sebagian besar merupakan produk dari sistem produksi yang sama sekali berbeda. Di bawah perusahaan, selama masa interregnum, dan, kemudian, di bawah mahkota Belanda yang bekerja melalui Sistem Budaya, tumbuhan ekspor ditanam oleh para petani Indonesia di tanah mereka sendiri. Namun, di bawah Kebijakan Liberal, tumbuhan gres yakni subjek produksi perkebunan. Banyak perluasan ekonomi terjadi di sumatera daripada di Jawa, dan residensi pantai timur sumatera menjadi sentra ekonomi perkebunan gres yang luas. Perkebunan-perkebunan itu yakni milik perusahaan, dan perkembangan ekonomi di selesai periode ke-19 memang lebih merupakan produk dari perusahaan, bukan perorangan.

Ekspansi wilayah Belanda πŸ€½β€β™‚

Perkembangan ekonomi yang pesat disertai dengan perluasan teritorial. Meskipun Belanda telah memutuskan kontrol mereka secara efektif atas Jawa pada pertengahan periode ke-18 dan secara sedikit demi sedikit memperluas kepemilikan orisinil mereka di sumatera selama periode ke-19, kendali mereka atas pecahan lain kepulauan itu tidak merata dan tidak lengkap. Itu dilakukan, utamanya, melalui perjanjian dengan penguasa lokal daripada melalui kontrol langsung atas wilayah. Pada tahun-tahun penutupan periode ke-19 dan tahun-tahun awal periode ke-20, langkah-langkah cepat dilakukan untuk melengkapi kerajaan Belanda dan memperluasnya secara efektif di seluruh Hindia Timur.
Di sumatera utara, peperangan dengan rakyat Aceh yang berlangsung dengan banyak sekali tingkat intensitas dari tahun 1873 hingga 1908 membawa ujung utara sumatera di bawah kendali Belanda. Di Sulawesi dan Maluku, di mana Belanda telah usang menjalankan otoritas umum, instrumen gres β€” Deklarasi Pendek (berbeda dengan Kontrak Lama sebelumnya) β€”mengangkat para penguasa lokal untuk mendapatkan kendali Batavia. Otoritas Belanda diperluas dengan cara ini atas Bone dan Luwu di Sulawesi, atas Kalimantan tengah, atas Bali dan Kepulauan Sunda Kecil, dan atas Ternate, Seram, dan Buru di Maluku. Pijakan didirikan juga di atas pecahan barat New Guinea. Komunikasi dikembangkan β€” jalan dan kereta api di Jawa dan sumatera dan memperluas layanan pengiriman untuk menghubungkan Jawa ke pulau-pulau terluar β€” untuk melayani kebutuhan ekonomi perkebunan baru. Antara tahun 1870 dan 1910 Belanda dengan demikian secara efektif menuntaskan proses mengubah Hindia Timur menjadi ketergantungan kolonial yang bersatu dan, memang, meletakkan dasar-dasar republik Indonesia yang akan datang.
"Imperialisme baru" pada selesai periode ke-19 sanggup dilihat sebagai pecahan dari gerakan di seluruh dunia di mana negara-negara industri Eropa Barat membagi di antara mereka sendiri daerah-daerah yang belum berkembang di dunia. Di Afrika, di Pasifik Selatan, dan di Burma (Myanmar), Indocina, dan Malaya, serta di Indonesia, sebuah "gerakan maju" gres terjadi yang berdiri sangat kontras dengan pola-pola kerajaan komersial sebelumnya. Jika kehadiran Eropa membuat daerah aliran sungai yang benar-benar dalam sejarah Indonesia, itu harus dilihat sekitar tahun 1870 (berlawanan dengan 1511, yang menandai pembentukan basis Eropa di kepulauan ini).
Dampak sosial dari perkembangan ini terhadap masyarakat Indonesia sangat luar biasa. Ekspansi ekonomi dan politik membawa populasi gres Belanda ke Hindia Timur: pegawai negeri sipil untuk staf layanan pemerintah tumbuh, manajer untuk menjalankan perkebunan baru, dan pegawai untuk staf rumah-rumah ekspor-impor dan bisnis lainnya. Komunitas-komunitas Belanda gres ini tiba untuk membentuk kantong-kantong Eropa di dalam kota-kota besar, dan kehadiran mereka menggarisbawahi perpecahan sosial dalam apa yang semakin menjadi masyarakat kasta yang terbagi berdasarkan garis ras. Belanda, bagaimanapun, bukan hanya komunitas ekspatriat yang ingin segera pensiun ke Belanda. Banyak dari mereka menganggap Hindia Timur sebagai rumah mereka. Perasaan mempunyai mereka sangat berbeda, misalnya, dengan orang Inggris di India, dan itu untuk memberikan kepahitan tambahan pada usaha selanjutnya untuk mempertahankan koloni sehabis Perang Dunia II.
Dari sudut pandang Indonesia, kota-kota yang berubah menjadi rumah bagi cara hidup urban gres dan merangsang perubahan sosial. Elit gres muncul di bawah efek dampak Barat yang berkembang. Begitu juga kelas gres pekerja tidak terampil dan semi-terampil yang menemukan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai pekerja di industri ringan yang mulai berkembang. Masyarakat pedesaan, meskipun lebih terlindungi, juga diubah oleh arus perubahan. Meskipun undang-undang agraria dan undang-undang ketenagakerjaan yang belakangan mempunyai ketentuan untuk melindungi hak adat yang ada atas tanah dan untuk menjamin keadilan kontrak bagi pekerja, fakta bahwa hanya kontrak kerja di perkebunan memengaruhi masyarakat desa tempat pekerja diambil dan berperan dalam mempercepat tumbuhnya populasi yang bingung, semakin bercerai dari tempat penampungan masyarakat desa tradisional tetapi tidak terserap ke dalam budaya urban baru.

Kebijakan Etis/ Politik Etis πŸ‘Ό

Kaum liberal Belanda dengan percaya diri berasumsi bahwa, sama mirip kebebasan perusahaan akan memaksimalkan kesejahteraan di dalam negeri, maka penerapan modal Eropa untuk kiprah mengembangkan sumber daya kolonial secara sedikit demi sedikit akan meningkatkan nasib rakyat kolonial. Pada selesai periode ke-19, 30 tahun Kebijakan Liberal di Indonesia sepertinya tidak mencapai keajaiban itu. Tumbuhnya kecaman terhadap catatan Belanda di Hindia Timur diberikan secara khusus oleh Conrad Theodor van Deventer, seorang anggota Partai Demokrat Liberal dari dewan legislatif Belanda, yang berargumen bahwa Belanda telah menguras kekayaan dari Hindia Timur dan telah mengakibatkan "Utang Kehormatan" yang harus dilunasi. Sarannya yakni semoga Belanda beralih dari kebijakan ketatnya laissez-faire di Hindia untuk mengejar acara kesejahteraan positif yang didukung oleh dana dari perbendaharaan metropolitan. Pada tahun 1901 perubahan pemerintahan di Belanda memberikan kesempatan untuk keberangkatan gres dalam kebijakan yang disarankan oleh van Deventer. Menurut Kebijakan Etis, demikian sebutannya, pemberian keuangan dari Belanda akan dikhususkan untuk penyuluhan layanan kesehatan dan pendidikan dan untuk penyediaan layanan penyuluhan pertanian yang dirancang untuk merangsang pertumbuhan ekonomi desa.
Kebijakan Etis dilihat oleh pendukungnya yang paling bersemangat sebagai percobaan balas kebijaksanaan yang dirancang untuk mengubah masyarakat Indonesia, untuk memungkinkan elit gres untuk menyebarkan kekayaan peradaban Barat, dan untuk membawa koloni ke dunia modern. Tujuan utamanya tentu saja tidak didefinisikan dengan jelas. Van Deventer memandang kemunculan elite Barat yang akan β€œberhutang kebijaksanaan kepada Belanda lantaran kemakmuran dan Kebudayaannya yang lebih tinggi” dan yang akan dengan penuh syukur mengakui fakta itu. Yang lain berharap untuk pertumbuhan, dengan "sintesis budaya," dari masyarakat India Timur yang gres yang didasarkan pada perpaduan unsur-unsur budaya Indonesia dan Barat dan sanggup menikmati otonomi dalam kerangka kekaisaran Belanda.
Terlepas dari visi yang agak muluk ini, pencapaian Kebijakan Etis jauh lebih sederhana. Yaitu dengan tidak menurunkan standar hidup atau mempromosikan revolusi agraria. Itu memang memberikan pemberian dan saran pertanian, tetapi ini diarahkan pada peningkatan teknik irigasi dan penanaman dalam teknologi padi-basah Jawa yang ada. Efeknya yakni untuk mengkonfirmasi jurang pemisah antara ekonomi Eropa dari perkebunan, tambang, sumur minyak, dan perdagangan skala besar dan ekonomi tradisional, sebagian besar subsisten, ekonomi Indonesia berupa padi sawah atau perladangan berpindah. Dalam pendidikan sedikit dilakukan untuk memberikan tingkat peluang yang lebih besar di tingkat dasar, menengah, dan bahkan tersier, tetapi pada selesai 1930-an hanya segelintir lulusan sekolah menengah yang diproduksi secara lokal, dan tingkat melek huruf dihitung pada lebih dari 6 persen.
Sasaran Kebijakan Etis ditetapkan terlalu tinggi, dan perangkat yang diadopsi untuk mengimplementasikannya terlalu rendah. Mengingat kelembaman masyarakat tradisional, tidak dibutuhkan bahwa tatanan gres akan dibentuk semudah yang dibutuhkan oleh para pendukung kebijakan tersebut. Namun demikian, selama tahun-tahun operasinya, Hindia Timur terkena kekuatan perubahan sosial yang luar biasa. Akan tetapi, kekuatan-kekuatan ini bukan hasil dari rencana sadar dari Kebijakan Etis tetapi dari dampak tidak langsung dari pembangunan ekonomi Barat. Populasi Jawa, yang telah meningkat dari sekitar 6 juta menjadi hampir 30 juta selama periode ke-19, meningkat menjadi lebih dari 40 juta pada tahun 1920. Populasi meningkat, bersama dengan urbanisasi, penetrasi ekonomi uang ke tingkat desa, dan tuntutan tenaga kerja dari perusahaan Barat digabungkan untuk mengganggu pola tradisional. Di mana Kebijakan Etis paling efektif, terlepas dari keterbatasan pencapaian pendidikannya, yakni dalam menghasilkan elit berpendidikan kecil yang sanggup mengungkapkan kekecewaan massa di masyarakat yang terkoyak dari tambatan tradisionalnya. Arus pemikiran Barat mempunyai dampak juga di kalangan Islam, merekonsiliasi tuntutan Islam dan kebutuhan periode ke-20. Dengan latar belakang inilah gerakan nasionalis yang sadar diri mulai berkembang.

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "βœ” Pengenalan Dan Sejarah Indonesia - Bab 2"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel